Fakta Tentang UKT
Penjelasan Secara Rinci Oleh Mahasiswa UIN Jakarta Tentang UKT
UKT UNM
Panggung Perjuangan Rakyat
Jum'at 6 Oktober 2017 Pukul 13.00 WIB @Depan Fak.Tarbiyah dan Keguruan UIN Jkt
Uang Kuliah Tunggal atau lazim disebut UKT merupakan suatu sistem pembayaran uang kuliah pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) pengganti dari sistem pembayaran dengan uang pangkal. Dimana penerapan uang pangkal pada setiap fakultas dan universitas berbeda-beda, perbedaaan signifikan terjadi antara mahasiswa regular dengan yang non regular.
Melalui UU No.12 Tahun 2012 pemerintah menerapkan suatu sistem yang disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT) dimana terdapat penggolongan biaya yang disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa. Lalu setelah itu terbitlah surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 97 E/KU/2013 yang dimana mengatur tentang pelaksanaan sistem UKT untuk PTN dan penghapusan uang pangkal bagi mahasiswa baru tahun akademik 2013/2014. Dalam proses diatas diharapkan dengan adanya UKT serta penghapusan uang pangkal, pendidikan tinggi dapat dirasakan oleh mahasiswa secara merata dan berkeadilan. Namun faktanya setelah terbitnya aturan tersebut menjadi sebab melonjak nya biaya kuliah menjadi dua kali lipat lebih mahal.
Dengan naiknya uang kuliah, maka akan semakin sulitnya masyarakat yang ada di lapisan bawah (miskin) untuk dapat mengakses pendidikan tinggi. Lalu apakah pendidikan tinggi hanya bisa diakses oleh mereka yang mempunyai uang selangit? Padahal pada dasarnya disebutkan pada amanat UUD 1945 pasal 31 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan pemerintah waib membiayainya dan dalam pasal 65 ayat (4) UU.12 Tahun 2012 dimana PTN badan hukum juga harus menyelenggarakan fungsi pendidikan tinggi yang terjangkau oleh masyarakat.
.
Tujuan pemerintah menerapkan sistem ini adalah untuk meringankan beban biaya mahasiswa tapi kenyataannya berbicara lain. Perubahan status ini membuat perguruan tinggi yang bersangkutan memiliki kebebasan dan wewenang untuk mengelola keuangannya sendiri termasuk menarik uang pangkal sesuai ketentuan mereka tanpa adanya lagi pengawasan dan tanggung jawab dari pemerintah. Wewenang ini dimanfaatkan oleh pihak universitas untuk menarik uang dari mahasiswa sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan perguruan tinggi tanpa menimbang latar belakang ekonomi keluarga mahasiswa.
Berbagai kisah tentang mahalnya biaya pendidikan dan peran sekolah yang turut memainkan biaya sekolah menjadikan sekolah menjadi pasar yang dihitung dengan untung dan rugi. Sekolah sudah menjadi sebuah komooditas yang dapat dibeli oleh orang yang mampu secara finansial saja. Biaya sekolah (uang) bahkan sudah mulai ikut menentukan arah, kemana pendidikan masyarakat hendak melangkah. Tanpa uang, tidak mungkin seorang anak miskin bisa menikmati pendidikan sekolah. Dengan kata lain, uang sudah amat berperan dalam sendi kehidupan manusia yang paling dasar. Uang menjadi value (nilai) yang kian dominan dalam worldview kita saat ini, bukan hanya secara ekonomis tetapi juga sosio-kultural. Ketika pendidikan sudah terlampau mahal, maka dampaknya makin berkuranglah tingkat partisipasi masyarakat kita untuk duduk dibangku sekolah. Maka jangan heran banyak masyarakat kita berfikir lebih baik kerja menjadi buruh pabrik, supir dll, daripada berpendidikan tinggi. Hal ini karena terbenturnya kebuituhan ekonomi mereka yang cukup untuk makan dan sekarang malah biaya pendidikan selalu mengalami kenaikan biaya. Makin jelaslah orientasi pendidikan bangsa ini, bahwa pendidikan kita kini tidak lagi dijadikan sebagai alat pembebasan bagi manusia tapi cenderung digunakan sebagai alat penindasan antara individu satu dengan lainnya. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab dan menjamin kesempatan memperoleh pendidikan untuk semua anak bangsa ternyata malah mandorong liberalisasi dan komersialisasi pendidikan yang jelas mendiskriminasi rakyat kecil.
Konteks Pendidikan saat ini bukan lagi merupakan suatu kegiatan kebudayaan untuk memanusiakan manusia, tetapi telah berubah menjadi kegiatan industri atau komoditas ekonomi. Sudah saatnya bangsa ini melakukan perubahan yang signifikan di sektor pendidikan, sistem pendidikan yang pro terhadap rakyat yang menekankan segi kualitas bukan hanya kuantitas dan akreditas, pendidikan dapat diakses seluruh masyarakat, sehingga cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa bukan hanya menjadi sebatas slogan, namun dapat berjalan selaras dengan kebijakan dan aturan pendidikan yang diterapkan. Dan pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai lembaga yang konsisten ada untuk mencerdaskan bangsa bukan untuk mengeruk keuntungan kaum imperialis dan kaum pemodal semata. Disinilah juga peran mahasiswa sebagai motor pergerakan bangsa sangat dibutuhkan guna membantu membantu mengawal, mengawasi, serta memberikan solusi bagi pemerintah untuk menciptakan sistem pendidikan yang ideal dan sesuai bagi keinginan rakyat Indonesia
Sejak diberlakukannya sistem UKT dan PTNBH pada tahun 2013 banyak mahasiswa berpendapat bahwa pelaksanaan UKT belum tepat seperti besaran UKT yang ternyata tidak sesuai dan terlaksana dengan semestinya sesuai kemampuan mereka dan cenderung tidak adil antara satu mahasiswa dengan mahasiswa lain. Hal ini disebabkan mekanisme UKT pada awal pelaksanaannya hanya menjadikan gaji kotor sebagai indikator utama penentuan UKT. Padahal terdapat banyak faktor lain yang mesti dipertimbangkan, misalkan anggota keluarga yang mengalami sakit keras, kondisi keluarga yang mengalami musibah/bencana, dipecatnya orang tua dari pekerjaan (dinamika ekonomi), dan persoalan-persoalan lain yang tidak tercatat dalam struk gaji.
Faktor inilah yang hendaknya menjadi pertimbangan universitas untuk pemberlakuan sistem dispensasi dan banding yang benar-benar bisa memperhatikan kondisi mahasiswa per semester. Beberapa universitas yang telah menerapkan sistem ini masih belum berjalan maksimal dan banyak menimbulkan pro kontra. Secara garis besar, evaluasi perumusan UKT dari berbagai PTN adalah masih menimbulkan kesenjangan. Masih banyak penepatan angka UKT di berbagai PTN yang tidak sesuai dan naik drastis dari satu tingkat angka ke tingkat lainnya. bahkan PTN banyak merasa menyesal sebab telah terbuai dengan janji manis pemerintah yang katanya akan menerapkan subsidi silang bagi golongan yang tidak mampu seperti kampus UGM, UI, UNPAD, UNJ, UNHAS, UNSRI, UNDIP, UI, UNILA, UNM, UIN Yogyakarta, UIN Jakarta dan masih lebih banyak lagi Universitas lain yang akhirnya menyesal dan melakukan berbagai bentuk perlawanan baik lewat aksi massal maupun propaganda secara massif. Dan ini menjadi salah satu bukti bahwa regulasi pendidikan UKT & PTNBH adalah BERMASALAH dan sudah seharusnya tidak diterapkan.
Kenaikan UKT ini akan semakin membuat sengsara orang tua mahasiswa. Selain harus membiayai kuliah anaknya, mereka juga harus memperhatikan biaya hidupnya sehari-hari. Ditengah belum menentunya perekonomian di Indonesia dan banyaknya pekerja yang di PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja, yang kemungkinan pekerja tersebut adalah orang tua mahasiswa, seharusnya menjadi perhatian menteri terkait dan PTN untuk menaikkan UKT. Masih tingginya inflasi dan kenaikan harga komoditas bahan-bahan pokok seperti bawang merah yang disebabkan gagalnya panen petani. Permasalahan ekonomi tersebut juga bisa menjadi salah satu pertimbangan UKT tidak dinaikkan.
Sejak tahun 2016 sebelum diterapkannya UKT dan PTN-BH di UIN Jakarta, mahasiswa sudah giat melakukan aksi penolakan terhadap berbagai bentuk komersialisasi pendidikan. Hal itu memuncak ketika di UIN Jakarta adanya pemberlakuan parkir berbayar yang dimiliki oleh swasta di ranah Kampus. Ada 400-an mahasiswa yang terjun menolak dan melawan pemberlakuan aturan tersebut. Namun gelombang aksi mahasiswa tidak digubris oleh pihak kampus. Dan kampus tetap melegalkan adanya Parkir Berbayar tersebut. Pasca kejadian yang menodai citra dunia pendidikan itu yang seakan menjadi lapak merauk keuntungan , muncul kembali di Kampus perjuangan UIN Jakarta sistem aturan yang secara jelas bermasalah, tapi tetap dipaksakan untuk diterapkan sistem ini bernama PTN-BH dan UKT. Dengan diberlakukannya sistem ini, banyak menimbulkan pro konta yang tiada hentinya sampai akhirnya memunculkan kembali gelombang perlawanan secara massal. Lewat aksi yang digagas Aliansi Musyawarah Mahasiswa UIN Jakarta bersama BEM UIN yang digiring hingga ke Rektorat untuk menyampaikan aspirasinya. Ada 700-an mahasiswa yang terlibat dalam aksi tersebut. Namun lagi-lagi perjuangan mahasiswa hanya diabaikan begitu saja oleh pihak kampus. Sehingga banyak memancing emosi dan kekecewaan bagi mahasiwa UIN Jakarta.
Dari hal-hal diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Uang Kuliah Tunggal merupakan sistem yang diberlakukan pemerintah agar pendidikan merata di Indonesia. Namun masih banyak kekurangan dalam pelaksanaannya. Ketika mahasiswa mengeluhkan UKT yang terlampau besar dan tidak sesuai dengan keadaan ekonomi mereka, pihak universitas tak mampu mengupayakan keringanan dengan maksimal, justru menjadikan UKT sebagai sumber dana tersendiri dari kampus.
Melihat realita pendidikan yang kian memprihatinkan, maka kami gerakan pemuda patriotik indonesia bersama seluruh organisasi ekstra kampus UIN Jakarta terus gencar melakukan berbagai bentuk aksi perlawanan yang tidak represif namun perusasif. Disinilah kami hadir dalam acara "Panggung Perjuangan" yang digelasr ecara umum. Bagi siapapun yang ingin menyampaikan aspirasinya baik itu puisi,lagu, ataupun orasi..kami buka secara terbuka. Mari lontarkan suaramu sebagai bentuk Perlawanan terhadap segala bentuk penindasan..
Panjang umur perlawanan...
HUMAS: Tama
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon